+62 812-2695-4579 sekretariat@asphri.or.id

– 

Kebijakan upah minimum, pada prinsipnya bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja, khususnya kepada pekerja yang baru (pekerja pemula) dalam memulai “dunia baru”, yaitu dunia kerja yang jauh berbeda dengan dunia pendidikan. 

Di beberapa negara maju dan negara berkembang, isu upah minimum tetap menjadi isu sentral & rutin yang cukup “mengganggu” sistem dan mekanisme hubungan industrial.  Tujuan diadakannya sistem dan kebijakan upah minimum adalah, untuk menutupi kehidupan dan “pembiayaan minimum” karyawan bersama keluarganya. Artinnya, tujuan kebijakan upah minimum tersebut bisa menjamin penghasilan pekerja, sehingga tidak lebih rendah dari suatu tingkat tertentu, meningkatkan produktifitas kerja dan mengembangkan serta meningkatkan bisnis perusahaan agar lebih efisien.

Kebijakan dan sistem upah minimum di Indonesia, pertama kali diimplementasikan pada awal dasa warsa 70an (Suharyadi, 2003). Penerapan sistem dan kebijakan upah minimum di era tahun 70an tersebut, tidak terlaksana secara baik dan efektif, karena masih kurangnya perhatian dan kontrol pemerintah dalam implementasinya. Justeru Pemerintah mulai lebih fokus dan memberikan perhatian pada kebijakan upah minimum tersebut pada era 80an, dikarenakan adanya tekanan dari dunia internasional, terkait dengan isu pelanggaran standar ketenagakerjaan yang mulai marak terjadi di Indonesia.

Mengutip survey Gall 1998 dan Suharyadi 2003, sebuah organisasi perdagangan di AS (AFL-CIO) bersama sejumlah aktivis HAM mengajukan keberatan terhadap sebuah perusahaan multinasional Amerika Serikat yang beroperasi di Indonesia, telah memberikan upah yang sangat rendah dan kondisi pekerjaan dibawah standar. Hal tersebut cukup “menampar” muka Pemerintah RI, yang ujung-ujungnya Pemerintah Indonesia memberikan perhatian yang lebih kepada sistem dan kebijakan upah minimum, dengan menaikkan upah minimum sampai tiga kali lipat dalam nilai nominalnya (dua kali lipat dalam nilai riil).

Sistem dan kebijakan upah minimum pada awalnya ditetapkan berdasarkan Kebutuhan Fisik Minimum (KFM). Namun untuk selanjutnya, kebijakan upah minimum mengacu kepada perhitungan biaya Kebutuhan Hidup Minimum (KHM), Indeks Harga Konsumen (IHK), tingkat upah minimum antar daerah, kemampuan, pertumbuhan dan keberlangsungan bisnis perusahaan, kondisi pasar kerja dan pertumbuhan ekonomi & pendapatan per kapita. Selanjutnya mengacu kepada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan sampai saat ini kebijakan dan sistem upah minimum Indonesia mengacu kepada PP No. 78 tahun 2015.

Berdasarkan Pasal 27 ayat 2 UUD 1945, disebutkan secara jelas bahwa setiap orang berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Namun disisi lain, dalam penetapan upah minimum, harus juga mempertimbangkan dan memperhatikan produktifitas dan keberlangsungan bisnis perusahaan pada khususnya dan ekonomi nasional pada umumnnya. Artinya, kebijakan upah minimum, jangan sampai berdampak kepada keberlangsung sistem perekonomian nasional yang ditopang oleh sektor rill yang menjadi tumpuan utama dalam penyerapan tenaga kerja.

Upah Minimum yang berkeadilan

Persoalan upah, tidak dapat terlepas dari prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan. Sistem upah dipersepsikan oleh pekerja selalu dengan keadilan. Karena upah merupakan sarana dalam pencapaian kesejahteraan. Keadilan dalam pengupahan ini tidak semata mata berkaitan dengan besarnya jumlah yang diterima, tetapi meliputi juga proses penentuan upah tersebut yang juga harus memenuhi syarat keadilan, disamping syarat kelayakan. Disisi lain, Pengusaha memiliki persepsi berbeda dalam pemberian upah kepada pekerja, dimana dalam setiap pembayaran upah, harus memberikan imbal yang positif dalam produktifitas kerja untuk kepentingan bisnis perusahaan secara keseluruhan.

Pentingnya upah sebagai unsur utama dalam mencapai tujuan pembangunan Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang harmonis, menjadikan intervensi negara sebagai sebuah keharusan dalam kebijakan dan sistem pengupahan, karena diyakini bahwa melepaskan konstruksi upah kedalam mekanisme pasar akan berakibat tidak tercapainya prinsip keadilan dan kelayakan dalam pengupahan.

Oleh karena itu, kebijakan pengaturan tentang Upah Minimum sebagai salah satu wujud intervensi negara dalam hubungan kerja telah menjadi kebijakan strategis dalam sistem hukum ketenagakerjaan di Indonesia.

Pembaharuan sistem hukum ketenagakerjaan, khususnya dalam sistem dan kebijakan pengupahan,  adalah sebuah keharusan dan sangat mendesak, agar konsep Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang berkeadilan bisa memberikan kenyamanan bagi pekerja, meningkatkan produktifitas, serta memajukan roda bisnis perusahaan yang berujung kepada peningkatan produktifitas nasional secara keseluruhan.

Agenda dan jargon “upah murah” untuk kepentingan investasi asing, harus segera diganti dengan model kesetaraan, keadilan dan kebersamaan semua elemen tripartit dalam mencari solusi terbaik, agar “kericuhan tahunan” tentang pro-kontra Upah Minimum bisa diselesaikan dan dituntaskan secara komprehensif, tanpa merugikan salah satu pihak dalam elemen bipartit yang menjadi “tokoh sentral” dalam sistem Hubungan Industrial Pancasila (HIP).

Peran negara sebagai regulator sangat dibutuhkan oleh Pekerja dan Pengusaha, karena “keberadaan negara” dalam memerankan fungsinya secara professional, objektif & independen untuk kepentingan nasional, akan memberikan dampak positif dalam keberlangsungan implementasi sistem hubungan industrial pancasila yang sesuai dengan harapan semua pihak. Anti keberpihakan, kemandirian dan objektifitas negara dalam menyusun aturan, kebijakan dan sistem pengupahan nasional, akan semakin memperkuat implementasi sistem Hubungan Industrial Pancasila (HIP) sebagaimana dicita-citakan semua “stakeholder” dunia usaha dan dunia industri (DUDI). Semoga sistem dan kebijakan pengupahan yang berkeadilan, bisa terwujud dan memberikan angin segar dalam dunia hubungan industrial Indonesia. Amien.